Senin, 08 Juni 2015

HEBOH BERAS PLASTIK (tinjauan dari perlindungan hak asasi rakyat)



Mengenai beredarnya beras plas­tik sebenarnya berawal dari media so­sial sejak bulan April lalu. Sulitnya mem­bedakan beras plastik karena beras ini tidak 100 persen terbuat dari plastik. Di­kabarkan bahwa beras plastik yang terbuat dari umbi-umbian, kentang dan dicetak dengan bahan plastik banyak beredar dan dijual di pasar-pasar Tiong­kok, khususnya provinsi Shaanxi. Na­mun informasi ini harus perlu di­ve­rifikasi lagi kebenarannya karena in­for­masi hanya didapat melalui media so­sial yang perlu dicek kevalidan in­formasi yang diunggah. Walaupun su­dah banyak yang memposting foto-foto beras mentah hingga masak bahkan vi­deo yang menayangkan cara pembua­tan beras plastik.
Minggu lalu dikabarkan pula ba­hwa peredaran beras plastik sudah masuk ke kawasan Asia Tenggara termasuk ke Indonesia. Inilah yang membuat ma­sya­rakat menjadi heboh dan resah. Res­pon ini pun sangat wajar dan dimaklumi karena masyarakat tidak ingin kalau beras plastik tersusup dan menjadi menu santapan harian keluar­ga.
Belum Ditemukan di Kota Lain
Dalam beberapa hari terakhir me­mang belum ada ditemukan kasus beras plastik di kota lain. Beras plastik yang sudah ditemukan di Bekasi sudah di­proses melalui pengujian labo­ratorium  Sucofindo untuk melihat komponen-komponen penyusun beras plastik. Fakta yang didapat adalah beras plastik mengandung bahan-bahan berbahaya yaitu zat pembuat dan pelembut bahan baku pembuatan plastik. Namun, hasil uji lab oleh Sucofindo juga masih menunggu hasil uji lab dari Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM).
Namun tidak cukup hanya me­nunggu hasil dari laboratorium yang dila­kukan oleh pemerintah. Masyarakat ber­harap lebih terhadap langkah dan ke­bijakan pemerintah untuk bisa me­ngantisipasi barang-barang illegal yang masuk ke Indonesia. Pemerintah harus memperketat dalam mengawasi ba­rang-barang impor yang masuk. Jangan sam­pai barang-barang ilegal merajalela melewati bea cukai apalagi para mafia-mafia pangan yang sering bermain melalui barang-barang illegal.
Pemerintah pun harus menjaga konsistensi penjagaan barang-barang yang masuk ke Indonesia. Karena bisa saja ketika pemerintah lengah dengan barang-barang yang legal semisal beras-beras impor legal bisa tersusupi beras plastik di dalamnya karena hanya menampilkan label saja.
Pentingnya pengawasan yang ketat me­lalui barang-barang yang masuk dari luar negeri menjadi agenda penting yang harus diperhatikan. Karena ke­la­laian akan mengakibatkan pasar tra­disional rugi dan masyarakat sebagai kon­sumen pun dirugikan. Masyarakat meng­harapkan pemerin­tah tidak se­kedar latah dengan setiap persoalan ke­tika muncul ke permukaan. Hari ini menerapkan peraturan dan pengawasan ke­tat ketika kasus merebak tapi besok-besok tak diperhatikan lagi. Pemerintah pun harus mengedepan­kan antisipasi dan pencegahan dengan intensitas yang konsisten. Pengawasan dan inspeksi langsung bahan makanan ke pasar-pasar me­rupakan langkah tepat agar setiap kon­sumen tidak terus-menerus merasa kua­tir.
Lemahnya pengawasan di lapangan ten­tunya harus diperbaiki dengan politik anggaran untuk pengawasan ma­ka­nan yang beredar di pasaran. Karena se­l­ama ini pengalokasian anggaran un­tuk pengawasan makanan yang beredar di masyarakat cukup lemah. Melalui ka­sus ini, pemerintah sebaik­nya bisa me­ngevaluasi kembali akibat dari le­mahnya pengalokasian anggaran un­tuk pengawa­san produk-produk maka­nan.
Pemerintah harusnya bersikap was­pada setiap saat jangan sampai ma­syarakat dirugikan akibat lalainya pemerintah dalam mengawasi masuk­nya produk-produk palsu khususnya per­edaran beras plastik ini. masyarakat pun harus mendapat jaminan dari peme­rintah bahwa produk makanan yang beredar di masyarakat aman untuk dikonsumsi.
Selain itu antara semua lini pemerin­tah haruslah saling berko­ordinasi. Men­teri perdagangan dan menteri pertanian harus berkoordinasi dengan bea cukai di pelabuhan-pelabuhan. Karena pe­labuhan menjadi lahan subur para mafia un­tuk melewatkan barang-barang se­lun­­­dupan.
Pemerintah Harus Tegas
Pemerintah harus bekerja keras me­nelusuri asal muasal beras palsu. Bahkan pemerintah harus bersikap tegas apabila pembuat dan pengedar beras palsu ini tertangkap. Karena pem­buat dan penge­dar bahan makanan ber­bahaya merupa­kan tindak kriminali­tas karena merusak organ manusia yang da­pat membunuh banyak orang secara perlahan.
Pada saat yang sama jangan kita biarkan pemerintah bekerja sendiri. Masyarakat pun harus ambil bagian. Mari gencarkan kewaspadaan kepada masyarakat yang belum mengentahui informasi tentang beras plastik yang telah beredar di pasar-pasar. Perlunya sosialisasi mengenai ciri-ciri bahan makanan berbahaya, termasuk beras plastik. Karena secara fisik relatif tidak terlalu jauh berbeda dari bau dan rasanya. Namun ada karakter spesifik yang perlu dikenal oleh masyarakat sebelum mengkonsumsi beras palsu.
Kandungan beras asli ketika setelah dimasak akan terasa lebih lengket karena mengandung karbohidrat lebih tinggi. Jika ingin mengidentifikasi beras plastik yang dicampur dengan beras asli maka daya lengketnya tidak baik alias tidak mudah lengket karena tidak memiliki kadar karbohidrat yang lebih banyak dibanding beras asli.
Kasus beredarnya beras plastik ini menjadi momentum bagi kita para konsumen agar lebih sadar lagi untuk lebih waspada terhadap produk-produk yang dibeli di pasar. Masyarakat harus lebih jeli dalam melihat informasi yang terdapat di makanan bahkan menco­cokkan kualitas yang ada di label produk makanan dengan isinya. Karena bisa saja ada ketidakcocokan antara label dan isinya. Jangan biarkan beras plastik ma­suk sampai ke perut, karena ketika su­dah di perut sulit untuk mengiden­ti­fikasinya.
            Menteri Perdagangan Rachmat Gobel memerintahkan seluruh Kepala Dinas Perdagangan memeriksa kemungkinan adanya peredaran beras sintetis mengandung plastik. "Kejadian ini merupakan momentum untuk menata ulang perdagangan bahan pokok dan barang lainnya, termasuk melakukan pendaftaran peredaran setiap merek beras," kata Gobel di kantornya, Jumat 22 Mei 2015.

Sebelumnya, pemerintah dinilai kecolongan atas beredarnya beras mengandung plastik. Pengujian yang dilakukan PT Sucofindo terhadap sampel beras dari Pasar Tanah Merah, Bekasi, Jawa Barat, menemukan ada tiga senyawa plastik. Sampel beras diambil dari konsumen bernama Dewi Septiani dan penjual beras Sembiring. Plastik itu diduga dioplos dengan beras.

Menteri Gobel meminta penyidik Badan Reserse Kriminal Polri dan Badan Intelijen Negara menelusuri dari hulu hingga hilir apakah peredaran beras sintetis itu diimpor secara ilegal atau merupakan produk dalam negeri. Penelusuran ini untuk memastikan motif pelaku. "Apakah sekadar pidana pencari untung semata, ataukah ada tindakan kriminalitas dengan motif-motif tertentu yang merugikan pemerintah," ujarnya.

Sampai saat ini belum ada laporan mengenai beras plastik kecuali temuan di Kota Bekasi. Meski begitu, Gobel tetap menghormati hasil uji laboratorium Pemerintah Kota Bekasi melalui Sucofindo. Ia juga mengapresiasi Dewi Septiani yang telah berpartisipasi dalam pengawasan publik agar peredaran beras sintetis tidak meluas. Namun pemerintah tetap menunggu hasil kajian Bareskrim serta Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) guna mendapatkan kepastian.

Direktur Jenderal Standardisasi dan Perlindungan Konsumen Kementerian Perdagangan, Widodo, berharap dalam tiga hari ini pengujian bisa dirampungkan BPOM. Jika hasil uji laboratorium positif, polisi akan menindak dengan menaikkan kasusnya ke tahap penyidikan. Kementerian Perdagangan akan menerbitkan surat ke seluruh Dinas Perdagangan agar menarik peredaran beras yang sejenis dengan yang ditemukan di Bekasi.

Pakar kimia dari Universitas Indonesia, Asmuwahyu, mempertanyakan motif pembuat beras plastik, karena bahan baku dan ongkos produksinya lebih mahal. "Harga plastik olahan seperti itu paling murah Rp 12 ribu per kilogram, sedangkan beras harganya Rp 7.500," ujarnya.

Pengamat ekonomi pertanian, Bustanul Arifin, menduga pelaku adalah orang iseng. Ia ragu kasus tersebut merupakan “bioterorisme”. Sebab, kata dia, penyebaran dan korban beras plastik tersebut belum jelas. Namun fenomena ini mencoreng citra bangsa dalam kaitan isu keamanan pangan.
Munculnya statemen dari Polri dan BPOM yang menyatakan beras plastik tidak ada menyisakan masalah hukum tersendiri bagi pelapornya, Dewi Nurriza Septiani.

Hal demikian lantaran Kapolri dan juga Menteri Pertanian, Andi Arman Sulaiman bertekad akan memprosespidanakan mereka yang menyebarkan isu beras plastik karena dianggap menebarkan keresahan bagi masyarakat.

Kita tau, dalam proses penegakan hukum, ada istilah partisipasi masyarakat dalam membantu upaya penegakan hukum itu sendiri. Ketaatan atau kepatuhan terhadap hukum yang berlaku merupakan konsep nyata dalam diri seseorang yang diwujudkan dalam perilaku yang sesuai dengan sistem hukum yang berlaku. Kepatuhan hukum mengandung arti bahwa seseorang memiliki kesadaran untuk memahami hukum, mempertahankan tertib hukum dan menegakkan kepastian hukum.

Apa yang dilakukan oleh Ibu Dewi dengan mengunggah temuannya di medsos justru merupakan implementasi dari partisipasi masyarakat yang betul-betul sadar hukum, AGAR masyarakat yang lain tau dan tidak menjadi korban dengan mengkonsumsi beras palsu, juga agar aparat lebih mudah menegakkan hukum mengungkap pelaku apapun motifnya.

Jika tindakan Ibu Dewi tersebut dianggap meresahkan masyarakat, MAKA lengkap sudah kedzaliman pemerintah ini terhadap rakyatnya sendiri, dimana:
1. Pemerintah yang telah gagal memberikan kesejahteraan bagi rakyatnya;
2. Pemerintah yang tidak mampu mengontrol harga-harga yang melangit dampak kenaikan bbm;
3. Pemerintah yang tidak mampu memberikan rasa aman dan nyaman bagi rakyat akibat kejahatan merajalela akibat kemiskinan meningkat;
4. Pemerintah yang tidak mampu menegakkan hukum secara berimbang;

Namun hari ini, ketika ada masyarakat yang berbaik hati membantu mengungkap kejahatan dengan memberikan informasi kepada masyarakat luas JUSTRU dituduh membuat keresahan masyarakat dan harus dipidana.

Jika tindakan Ibu Dewi dianggap teror yang meresahkan masyarakat, kenapa pula beliau juga membuat laporan ke BPOM dan pihak Kepolisian. Adakah di dunia ini bahkan di akhirat sekalipun, pelaku teror melaporkan tindakannya ke pihak berwenang?

Tidakkah kalian sadar, bahwa keberhasilan kalian dalam penegakan hukum dan membasmi kejahatan, sebagian besar awalnya juga dari laporan masyarakat?
Lantas mengapa ketika ada partisipasi masyarakat yang melapor justru dikriminalisasi dengan tuduhan meresahkan masyarakat?

Jika memang demikian arahnya, maka jangan berharap lagi partisipasi masyarakat dalam penegakan hukum di indonesia.

SANKSI FIFA TERHADAP ( tinjauan dari sisi hak pemain dan penonton sepak bola )



Menteri Pemuda dan Olahraga (Menpora), Imam Nahrawi, dengan percaya diri menandatangani surat keputusan pembekuan Persatuan Sepakbola Seluruh Indonesia (PSSI). Pembekuan ini dibalas dengan penghentian kompetisi Qatar National Bank League 2015 oleh PSSI. Pro dan kontra pun lantas menyeruak ke permukaan atas kejadian-kejadian ini.
Atas intervensi pemerintah ini, Indonesia berada dalam bayang-bayang hukuman dari Federation Internationale de Football Association (FIFA), federasi sepakbola tertinggi di dunia. Inilah yang memunculkan ketidaksetujuan sebagian publik atas pembekuan PSSI yang dilakukan oleh Menpora.
Lantas apa yang akan terjadi jika FIFA menghukum Indonesia dalam waktu dekat? Yang pasti Indonesia dipastikan tak bisa mengikuti turnamen-turnamen internasional. Sedangkan timnas Indonesia sendiri, akan berlaga pada babak kualifikasi Piala Dunia 2018 sekaligus babak kualifikasi Piala Asia 2019 pada Juni mendatang.
Tak hanya kesebelasan nasional, klub pun akan terkena dampaknya. Klub yang dihukum FIFA tak diperkenankan untuk mengikuti kompetisi internasional. Ini artinya, Persib Bandung dan Persipura Jayapura terancam tak bisa meneruskan kiprahnya di AFC Cup.
Merugikan? Ya. Tapi sabar dulu. Ada contoh menarik dari kasus hukuman FIFA pada sebuah negara dan hal tersebut terjadi dua tahun yang lalu pada negara asal Afrika, Kamerun, yang beberapa waktu lalu beruji coba dengan timnas kita. Apa yang dialami Kamerun ini bisa menjadi pelajaran bagi Indonesia jika dihukum FIFA.
Pada 4 Juli 2013, FIFA menjatuhkan hukuman pada Federation of Cameroon Football (Fecafoot) terkait dipilihnya kembali Iya Muhammad sebagai ketua Fecafoot. Padahal, Iya Muhammad tengah mendekam di penjara karena kasus penyelewengan dana pada perusahaan pengembangan kapas yang dimiliki negara.
Karena mendapatkan protes keras, keputusan tersebut dicabut dan Fecafoot menunjuk wakil ketua terpilih, John Begheni Ndeh untuk memimpin federasi untuk sementara waktu. Pemerintah tak menyetujui pemilihan tersebut dan membekukan Fecafoot serta mengangkat ketua baru versi pemerintah.
Fecafoot pun segera melaporkan apa yang dilakukan pemerintah Kamerun tersebut pada FIFA. Bukannya mendapat bantuan, FIFA justru menjatuhkan hukuman pada Kamerun dengan alasan  intervensi pemerintah.
FECAFOOT yang tak menyangka atas keputusan itu langsung mengkritisi putusan FIFA tersebut karena Kamerun akan menjalani babak kualifikasi Piala Dunia 2014. Belum lagi tentang nasib-nasib pemain Kamerun, khususnya pemain muda, yang berlaga di Eropa bisa terancam. Pun begitu dengan kiprah klub-klub Kamerun.
“Jika misalnya ada pemain muda yang diterima, misalnya di Arsenal, ia tak akan bisa pindah karena federasi Kamerun tak memiliki sertifikat transfer yang diakui,” ujar Junior Binyam, juru bicara FECAFOOT dikutip dari vanguardngr.com.
FIFA menyarankan Kamerun menyelesaikan kisruh yang ada serta membentuk tim normalisasi sebagai penengah. Pemerintah Kamerun dan Fecafoot pun kemudian bersama-sama membentuk tim normalisasi yang diketuai oleh mantan Menteri Olahraga, Joseph Owana, dengan wakilnya, Ngassa Happi, dari presiden komite kesebelasan Kamerun, Union Douala. Anggotanya yang berjumlah sembilan orang, berisikan beberapa mantan pemain dan sejumlah pengacara yang juga berkecimpung dalam dunia sepakbola Kamerun.
Setelah mempelajari orang-orang yang berada di tim normalisasi, FIFA kemudian menyetujui tim normaliasi ini. Dan tak lama setelahnya, hukuman pada Kamerun pun kemudian dicabut pada tanggal 22 Juli 2013. Ini artinya, Kamerun hanya dihukum FIFA selama 17 hari.
Dalam pernyataan resminya, FIFA menyatakan bahwa, “Sebagaimana yang diminta FIFA Emergency Comitee, tim normalisasi yang dibentuk pada 20 Juli 2013, diperbolehkan untuk mengambil alih federasi sepakbola Kamerun yang didampingi pihak dari FIFA dan perwakilan dari Konfederasi Sepakbola Afrika (CAF) per Senin, 22 Juli 2013. Dengan pencabutan hukuman ini, klub, ofisial, dan semua hal yang berhubungan dengan Fecafoot diperbolehkan kembali melanjutkan kegiatan yang sempat terganggu.”
Atas dicabutnya hukuman FIFA ini, Coton Sport diperbolehkan berlaga di Liga Champions Afrika yang mulai digelar pada 4 Agustus 2013, dua minggu setelah hukuman dicabut. Sedangkan timnas Kamerun, diperbolehkan menjalani babak kualifikasi Piala Dunia 2014 pada September, dua bulan setelah hukuman dicabut, dengan menghadapi Libya.
Tim normalisasi tersebut menangani sementara organisasi sepakbola Kamerun hingga pemilihan ketua baru Fecafoot pada Maret tahun berikutnya. Dicabutnya hukuman FIFA atas Kamerun pun dibarengi dengan pertemuan antara Presiden FIFA, Sepp Blatter, dengan Menteri Olahraga Kamerun, Adoum Garoua untuk menjalin hubungan baik pemerintah Kamerun dengan FIFA.
Setelah hukuman dari FIFA-nya dicabut, tim normalisasi yang dibentuk pemerintah Kamerun dibantu wakil FIFA, Primo Carvaro, dan perwakilan CAF, Prosper Abega, merevisi Statuta Fecafoot. Dengan bantuan dari FIFA dan CAF ini, tim normalisasi pun berjalan dengan sebagaimana mestinya.
Dari kasus Kamerun ini kita bisa melihat bahwa sebenarnya hukuman FIFA yang kita takutkan selama ini tak semengerikan yang kita kira. Ketika FIFA mengetukkan palu hukuman, FIFA bisa kapan saja mencabut kembali hukuman yang dijatuhkannya, selama tentu saja negara yang bersangkutan bergerak cepat mengikuti segala yang diinstruksikan FIFA berikutnya.
Dalam sejarah sepakbola, Brunei Darussalam merupakan negara yang paling lama menjalani hukuman FIFA: 16 bulan. Hal itu terjadi karena pemerintah Brunei memang tak berupaya untuk melego FIFA dan lebih memilih jalannya sendiri: membentuk federasi baru. Barulah setelah dua tahun berjalan, FIFA mengakui federasi baru Brunei (FFBD) sebagai anggota FIFA dan mencabut hukumannya.
Hingga saat ini, menjelang tiga minggu setelah PSSI dibekukan, belum ada tanda-tanda Indonesia akan dihukum FIFA. Tapi jikapun–kemungkinan terburuknya–FIFA menghukum Indonesia, tinggal bagaimana nantinya tim normalisasi yang diminta FIFA bisa disetujui. Jika dilakukan sesuai apa yang diminta FIFA, hukuman bisa dengan cepat dicabut kembali, seperti misalnya yang dialami Nigeria yang dihukum FIFA hanya selama sembilan hari.
Menpora membekukan PSSI karena PSSI dianggap tak menuruti aturan pemerintah terkait transparasi keuangan dan regulasi kompetisi Indonesia Super League atau sekarang bernama Qatar National Bank League. Alasan seperti ini harusnya bisa dibenarkan oleh FIFA jika mengacu Statuta FIFA itu sendiri.
Dalam Statuta FIFA edisi terbaru, April 2015, disebutkan pada Pasal 2 ayat ‘e’ bahwa tujuan dibentuknya FIFA salah satunya adalah untuk meningkatkan integritas kompetisi dan mencegah adanya penyalahgunaan asosiasi sepakbola. Hal tersebut tentunya sejalan dengan maksud dari Menpora membekukan PSSI.
Dengan asumsi FIFA berpegang teguh pada statutnya sendiri, harusnya Menpora bisa dengan mudahnya melobi FIFA setelah hukuman dijatuhkan. Menpora tinggal menunjukkan bukti-bukti lainnya seperti hal-hal lain yang tak diinginkan FIFA dalam sepakbola dalam pasal 2 tersebut.
Mengenai sepakbola Indonesia, FIFA telah mengambil sikap. Badan tertinggi sepakbola dunia tersebut telah menjatuhkan hukuman terhadap PSSI. Hukuman ini berlaku segera dan akan berlangsung hingga waktu yang belum ditentukan.
Selama masa hukuman, Indonesia kehilangan banyak hak sepakbolanya, termasuk ikut serta dalam kejuaraan. Ada pengecualian, memang, yang membuat Tim Nasional Indonesia tetap dapat ambil bagian di SEA Games. Namun bukan itu poin utamanya. Lama atau tidaknya hukuman FIFA tergantung PSSI sendiri.
Sebagaimana hukuman yang berlaku segera, pencabutan hukuman pun dapat dilakukan dengan segera. Selama, tentu saja, PSSI mampu memenuhi empat ketentuan pencabutan hukuman yang ditentukan FIFA. Ketentuan pertama dari empat ketentuan tersebut adalah: Komite Eksekutif PSSI terpilih dapat mengelola perkara PSSI secara mandiri dan tanpa pengaruh dari pihak ketiga, termasuk kementerian (atau badan kementerian).
Ketentuan kedua berisi pengembalian kewenangan terhadap tim nasional Indonesia kepada PSSI: Tanggung jawab mengenai tim nasional Indonesa kembali menjadi kewenangan PSSI. Seperti ketentuan kedua, ketentuan ketiga dan keempat juga berisi pengembalian kewenangan kepada PSSI (“tanggung jawab mengenai semua kejuaraan PSSI kembali menjadi kewenangan PSSI atau liga yang dibawahinya” dan “semua kesebelasan yang berlisensi PSSI di bawah regulasi lisensi kesebelasan PSSI dapat berkompetisi di kejuaraan PSSI”).
Selama masa hukuman, PSSI kehilangan hak-hak keanggotaan mereka di FIFA. Selain itu, semua kesebelasan Indonesia (tim nasional atau klub) tidak dapat terlibat dalam kontak olah raga internasional. Hak-hak yang hilang dan larangan yang berlaku termasuk hak untuk ikut serta dalam kejuaraan FIFA dan AFC (Asian Football Confederation, Federasi Sepakbola Asia).

Hukuman yang dijatuhkan FIFA tidak hanya membatasi hak-hak kesebelasan. Anggota dan pengurus PSSI juga tidak dapat terlibat, termasuk sebagai peserta, dalam setiap program pengembangan bakat, kursus, atau pelatihan yang diselenggarakan FIFA maupun AFC.
Secara khusus, dalam surat keputusannya, FIFA menyoroti keikutsertaan tim nasional Indonesia di South East Asean Games 2015 (SEA Games 2015) di Singapura. Mengingat hal ini termasuk kontak olahraga internasional, tim nasional Indonesia seharusnya tidak dapat ikut serta di cabang olahraga sepakbola SEA Games 2015. Namun FIFA memberi pengecualian. Tim nasional Indonesia dapat ikut serta di SEA Games 2015.
“Secara khusus dan tidak berhubungan dengan hukuman, Komite Eksekutif FIFA telah memutuskan bahwa tim nasional Indonesia dapat meneruskan keikutsertaan mereka di SEA Games hingga keikutsertaan mereka berakhir,” bunyi pernyataan FIFA di surat resmi yang mereka keluarkan mengenai penjatuhan hukuman terhadap PSSI.
Sebagai catatan, pertandingan-pertandingan di cabang olahraga sepakbola SEA Games tidak termasuk dalam agenda FIFA sehingga hasil pertandingan-pertandingannya tidak akan memengaruhi peringkat Indonesia di ranking FIFA dan, karenanya, tidak menjadi kewenangan FIFA juga melarang Indonesia ikut serta di SEA Games.
Begitu juga kompetisi sepakbola nasional yang masih dapat bergulir tanpa pengaruh sanksi tersebut. Sementara itu secara terpisah presiden Joko Widodo mengatakan mendukung langkah Menpora soal keputusannya terhadap PSSI.
“Melihat permasalahannya harus lebih lebar. Kita ini hanya ingin ikut di ajang internasional atau berprestasi di ajang internasional?” sebut Jokowi dikutip dari CNN Indonesia.
“Jika hanya ingin ikut ajang internasional namun selalu kalah, lalu kebanggaan kita ada dimana, itu yang saya ingin tanyakan,” tambahnya.
“Kita selalu ikut ajang internasional namun selalu kalah. Yang kita lakukan adalah pembenahan total, pembenahan total daripada kita punya prestasi seperti ini terus sepanjang masa.”
Sumber :

Kemelut Partai Golkar (tinjauan dari sisi hukum)



MAJELIS Pengadilan Partai Golkar – akhirnya mengabulkan sebagian permohonan gugatan kubu Agung Laksono – dan sebagian lainnya dari kubu Aburizal Bakrie (ARB) – dalam sidang gugatan perselisihan kepemimpinan Partai Golkar priode 2014 -2019. Majelis Hakim yang terdiri dari 4 orang – masing-masing 2 dari kubu Agung Laksono dan 2 lainnya dari kubu ARB, memiliki pendapat yang tak seragam. Alhasil ketika vonis dibacakan, hasilnya seri, sama kuat (draw).
Artinya, sidang Mahkamah Partai yang diketuai Prof. Muladi SH itu, tidak menghasilkan keputusan yang signifikan. Kecuali itu meminta kubu yang berseteru, agar melakukan jalan musyawarah untuk mufakat. Jika juga gagal, maka keduanya dianjurkan untuk menyelesaikannya di peradilan umum, atau pengadilan tingkat Kasasi di MA. Ini sesuai dengan anjuran UU Partai Politik, No. 2 Tahun 2011 jo UU No.2 tahun 2008.
Ketua Majelis Hakim partai Golkar, Muladi SH, lebih lanjut meminta, agar kubu yang nantinya menang dalam di pengadilan tingkat kasasi di MA, tidak mengambil semuanya ( the winners take all). Akan tetapi membangun kebersamaan dengan unsur pengurus yang lain, termasuk merehabilitasi kader Golkar yang dipecat. Sedang terhadap kubu yang kalah, Majelis minta, agar tidak membentuk partai baru. Akan tetapi secara bersama-sama bertanggungjawab untuk menggelar musyawarah daerah (musda), dan selanjutnya menggelar Munas, paling lama Oktober 2016 mendatang. Musda dan Munas ini, diharapkan dapat mengakhiri semua kemelut di tubuh partai kuning itu.
Atas pristiwa ini, kubu ARB – yang didukung oleh hampir semua DPD se negeri ini—mendaftarkan amar putusan Mahkamah Partai itu, ke Kemenkumham. Tak cuma itu, melalui pengacara Yusril Idza Mahendra, kubu ARB memperkarakan perselisihan ini sampai ke tingkat kasasi di Mahkamah Agung (MA). Langkah ini diambil, karena hanya putusan majelis hakim kasasi di MA sajalah yang tertinggi, final dan mengikat.
Tak kalah cerdik, Agung Laksnono cs sesumbar, lalu juga membawa memori putusan Mahkamah Partai ini, ke Kemenkumham. Ini selain dimaksudkan untuk mendaftarkan diri menjadi peserta pemilu, juga dimaksudkan, agar Kemenkumham melegitimate kepengurusan versi Agung Laksono.
Kalau saja ARB cs tidak gertak sambal – memboyong perkara perselisihan itu sampai ke tingkat kasasi di MA – menolak musyawarah lagi — maka sudah dapat dipastikan, betapa prahara partai tua itu, semakin panjang, terjal, dan berliku. Karena untuk persiapan gugatan ke tingkat kasasi, ada begitu banyak agenda yang mesti dipersiapkan Yusril. Ini belum lagi masa jeda dan konsolidasi tingkat internal partai. Diperkirakan masa idah ini, setidaknya menghabiskan waktu, 3 hingga 4 bulan ke depan.
Padahal pada Juli ini, adalah batas terakhir pendaftaran partai politik pserta pemilu di Kemenkumham. Lalu kalau saja, para pihak yang berselisih itu, mengedepankan ambisi politik mereka masing-masing, maka sudah dapat dipastikan, Golkar tidak bisa ikut dalam Pemilukada tahun ini, bahkan salah-salah 5 tahun mendatang.
Masalah pelik lainnya adalah, apa mungkin kubu yang menang nantinya, bisa menggelar Musda dan selanjutnya Munas, sedang konflik kian menganga? Lalu apa mungkin kubu yang menang nantinya, tidak balas dendam terhadap kader-kader mereka yang dianggap membangkang? Pertanyaan ketiga, apa mungkin kubu yang kalah nantinya, masih mau duduk satu meja, dan mengabaikan semua perseteruan ini. Pertanyaan berikutnya, apa mungkin kemelut yang terjadi di Golkar ini, tidak berimbas ada hubungan di tingkat pemerintahan? Oleh karena itu, kalau saja semua agenda strategis ini tidak tertangani secara baik, maka dikhawatirkan akan terjadi penggebosan partai tingkat elite.
RMOL. Tampaknya para elite Partai Golkar sudah makin kehabisan akal untuk keluar dari kemelut yang mereka bikin sendiri. Walaupun sudah mengerahkan upaya menggunakan Wapres JK untuk membuat solusi islah, hasilnya juga hanya setengah hati dan tidak mampu memecahkan inti persoalan, siapa yang akan diakui sebagai ketum dan sekjen DPP Golkar.

"Solusi mentah ala JK itu ujung-ujungnya malah membuat KPU terkesan di 'fait accompli'. Sebab pihak-pihak yang bersengketa itu pura-pura damai dengan bukti tim seleksi calon pilkada, lalu KPU diminta mengabsahkan. KPU sampai saat ini bergeming. Ia hanya mau mengakui Golkar sebagai peserta pilkada jika DPP-nya sah secara hukum yaitu diakui oleh Menkumham," kata pakar politik senior Muhammad AS Hikam lewat akun facebooknya, Kamis (4/6).

Itulah sebabnya, lanjut AS Hikam, kubu Aburizal Bakrie kini membuat jebakan batman bagi Presiden Jokowi dengan cara melibatkan beliau ke dalam kancah konflik.  Ketua Umum Sentral Organisasi Karyawan Swadiri Indonesia (SOKSI) Ade Komarudin ditugasi menjadi interlokutor kubu ARB untuk mendekati Jokowi.

Menurut AS Hikam, jika RI-1 itu masuk dalam jebakan batman tersebut, niscaya akan runyam. Bukan saja beliau akan menjadi sasaran kritik dari publik, tetapi juga akan membuka persoalan baru vis-a-vis partai pendukungnya (PDIP) dan KIH. Padahal saat ini sudah mulai terjadi rapproachment dan peredaan ketegangan antara Jokowi dan kekuatan politik pendukungnya setelah sempat bergejolak dan membuang energi.

Masih kata lulusan University of Hawaii at Manoa AS ini, posisi Presiden Jokowi beda dengan JK dalam soal konflik Golkar. JK adalah orang dalam partai tersebut dan mantan ketum DPP-nya. Presiden Jokowi tidak ada kaitan apapun dengan Golkar dan bahkan secara politik berlawanan. JK jelas lebih dekat dengan kubu Agung Laksono ketimbang dengan kubu ARB. Itu sebabnya Ade Komarudin lalu digunakan untuk menarik Jokowi ke dalam orbit ARB.

"Dengan cara ini Presiden Jokowi bisa digunakan menetralisir pengaruh JK dan sekaligus menekan Menkumham yang tetap bersikukuh mengajukan banding terhadap putusan PTUN," ujar AS Hikam.

Pertanyaannya, akankah Jokowi masuk dalam jebakan itu? Untuk sementara, kata AS Hikam, Jokowi cukup diplomatis dengan mengatakan pada Ade Komarudin bahwa beliau akan menginformasikan laporan Ade Komarudin kepada JK. Dengan demikian Jokowi tidak membuat komitmen apapun terhadap kubu ARB, tetapi juga tidak menolak secara vulgar.

"Jika Presiden konsisten dengan posisi ini, maka ARB dkk akan gigit jari. Tapi jika nanti Presiden ikut cawe-cawe soal konflik Golkar, saya kira akan merugikan standing beliau yang kini sudah mulai membaik dan menguat. Kita ikuti saja perkembangan selanjutnya," demikian AS Hikam. [rus]

Simalakama untuk Kemenkumham
Dari situasi ini -Kemenkumham adalah pihak yang mungkin menjadi serbasalah – seperti hendak memakan buah simalakama. Melegitimate kepengurusan ARB versi Munas Riau 2009 – 2014, takut dipraperadilankann oleh kubu Agung Laksono . Lalu jika mensyahkan Golkar kepengurusan Agung Laksono, takut pula digugat kubu ARB, seperti yang terjadi dalam kasus PPP versi Romahurmuzly.
Belajar dari kasus PPP versi Romahurmuzly – Yasonna H Laoly, tentu tidak mau terburu-buru untuk melegitimate salah satu kubu. Kemenkumham tentu tidak akan mau dua kali jatuh di lubang yang sama. Mereka tentu akan menunggu sampai ada putusan final dan mengikat dari lembaga peradilan yang lebih tinggi, seperti MA. Begitupun, vonis Mahkamah Partai, menjadi satu-satunya instrument penting, bagi referensi kemelut kepemimpinan di tubuh Golkar.
Lalu apakah kefakuman ini, harus terus menerus dibiarkan begitu saja oleh Kemenkumham, tanpa ada penjelasan? Karena bukan tidak mungkin, kondisi ini akan menyulut keresahan dan gejolak horizontal di tingkat daerah. Para pimpinan ditingkat daerah, mulai dihinggapi perasaan was-was, atas posisi mereka. Terlebih bagi bakal calon kepala daerah, yang sudah mendapat restu dari ARB.
Kemelut kepemimpinan di tubuh partai kuning ini, harus mendapat pengawalan yang ekstra ketat dari para dewan penasehat partai itu. Sebab jika para elitenya, hanya tertumpu pada ambisi politik kelompok, dikhawatirkan kemelut di tubuh Golkar, akan ditunggangi sebuah kekuatan yang besar, untuk tujuan mengerdilkan partai itu. Tak percaya? Lihatlah pada kasus PKB. Hanya saja dalam kasus Golkar kali ini, semua opsi menjadi sangat kritis. Lalu side effect nya, beda dengan kasus yang terjadi di PKB.
Pilihan Strategis bagi Golkar ke Depan
Disadari atau tidak, sesungguhnya vonis Majelis Hakim Partai Golkar – beranggotakan 4 orang hakim – tidak ganjil — menerima sebagian permohonan kedua kubu yang berselisih itu, adalah keputusan yang cerdik dan cerdas. Vonis itu seperti membuang begitu saja bola panas ke Kemenkumham, selaku lembaga hukum positif. Mahkamah partai, berupaya menggunakan palu pemerintah, untuk memutuskan pemenangnya. Keputusan seri atau sama kuat ini, sesungguhnya tidak memberi surprise apa-apa bagi pemerintahan Jokowi.
Begitu juga terhadap wakilnya, Jusuf Kalla. Kecuali itu, vonis ini menambah lamanya waktu penyelesaian konflik. Begitu juga terhadap peluang voice dan besar kecilnya dampak keuntungan dari suatu kemelut partai sekelas Golkar. Belum adanya keputusan final yang mengikat, menyebabkan energy para elite dan kadernya kian terkuras. Ini tak cuma hanya di pusat, melainkan juga di daerah.
Mari kita bahas dalam ruang yang sempit ini, tentang untung dan ruginya partai Golkar, jika pengadilan tingkat kasasi MA, memenangkan salah satu pihak yang bertikai. Namun sebelum kita masuk pada bahasan itu, ada lebih baiknya, kita lihat tentang partai tua ini.
Golkar adalah partai besar, dengan segudang pengalaman di pemerintahan. Memiliki ketajaman visi dan sumber daya yang handal di perpolitikan tanah air. Banyak kalangan menilai, perpolitikan di Indonesia, tidak ada arti sama sekali, tanpa adanya partai Golkar. Kader-kader partai tua ini, adalah pembaharu, meski berada di lingkungan penguasa yang silih berganti. Itu sebabnya, kemelut yang terjadi di tubuh partai ini, menjadi hal yang menarik untuk disusupi. Apalagi Golkar di parlemen dan KMP, memiliki populasi yang relatif besar.
Memenangkan kubu ARB – akan memperkuat KMP di parlemen, meski Ketum Golkar tidak berada pada posisi puncak di KMP. Koalisi Merah Putih, menjadi alat kontrol yang efektif dan akurat, dan sewaktu-waktu bisa menjadi teman yang akrab, meski ini sulit. Tujuan lain KMP untuk menguasi kepala daerah tidak lagi efektif, setelah Perpu Pemilu direvisi atas tekanan rakyat. KMP dapat saja sewaktu-waktu jadi blunder politik, begitu kebijakkan pemerintah dihalang-halangi di parlemen. Namun KMP menjadi daya tawar yang menarik untuk Joko Widodo, untuk menjadi presidensial yang indenpenden, lepas dari kungkungan politik yang membesarkan dirinya.
Lalu dengan memberi kemenangan kepada kubu Agung Laksono, berarti membuka peluang bagi Golkar, untuk membangun citranya dirinya di mata rakyat. Cara ini dilakukan dengan melalui kadernya yang saat ini menjadi orang nomor dua di negeri ini. Posisi Jusuf Kalla sebagai Wapres, sangat strategis untuk membangun citra partai kuning ini kembali. Apalagi JK memiliki pengalaman sebagai orang nomor dua, saat menjadi Ketum Golkar. Ini tentu akan menimbulkan ancaman sebuah manuver politik yang menarik perhatian.
Posisi Golkar akan menjadi lebih baik, jika dia berada di lingkungan pemerintahan, dibandingkan harus berada di luar. Selain karena pengalaman, rakyat juga akan menjadi lebih mudah melihat Golkar dengan berbagai attitudenya, dibandingkan di parlemen. Walau di bawah panji-panji KMP, Golkar cs menguasai parlemen. Namun perjuangan Golkar lebih nyata terlihat oleh rakyat, dibandingkan harus berada di luar. Apalagi banyaknya kader partai kuning ini yang menjadi kepala daerah. Ini akan memberikan harapan perlindungan bagi kadernya di muka hukum.
Pilihan ketiga adalah – memerintahkan pimpinan hasil Munas Golkar priode 2009 – 2014 di Riau – bersama-sama dengan kubu Agung Laksono, untuk kembali menggelar Munas Golkar – lalu pemerintah (Kemenkumham) hadir sebagai wasitnya. Selama masa prosesi Munas, personel Kemenkumham tidak boleh tidur, walau sedetikpun.
Apa yang akan terjadi di kemudian hari JIka Terus Konflik?
Konflik politik yang tidak kunjung selesai ini sejatinya telah menggerus banyak tenaga, baik di internal partai Golkar maupun masyarakat. Rasanya susah sekali untuk move on dan segera fokus untuk membangun bangsa. Bukan tidak mungkin akan terjadi perpecahan dalam tubuh Golkar jika terjadi secara berlarut-larut dan bisa saja Golkar akan tertinggal momentum penting Pilkada langsung. Keberadaan Golkar di daerah yang masih kuat dan perpecahan yang terjadi di tingkat kepengurusan DPP akan mengobrak-abrik soliditas partai di level daerah. Sudah barang tentu jika hal ini terjadi maka Golkar akan tidak dapat apa-apa dalam level pertarungan di Daerah.
Pada level Nasional pun saya kira akan terjadi hal yang sama, perpecahan kepengurusan ini akan berdampak pada soliditas fraksi golkar di senayan, dengan demikian Golkar akan kembali gigit jari karena tidak akan mendapatkan apa-apa dari pertarungan ini. Justru yang akan di untungkan adalah partai-partai seperti hal nya Demokrat, Nasdem, Gerindra, dan lain-lainnya. Selain itu, dari upaya memperoleh kemenangan dari pertarungan ini akan membuat konsentrasi dan fokus partai Golkar dalam capaian target partai dalam berbagai pemilu baik Pilkada maupun nasional akan terjadi penurunan secara drastis, hal ini dikarenakan energi mereka telah habis terkuras dalam pertarungan internal, juga akan kesulitan untuk mengkonsolidasi perpecahan di daerah. Dengan demikian dapat diyakini bahwa perolehan suara partai golkar akan anjlok sebagaimana nasib yang dialami partai Demokrat pada pemilu yang lalu, dan akan ditinggalkan oleh konstituennya pada saat mendatang.
Sebagai partai yang besar dan telah kenyang bermain dalam pangung politik, seharusnya mereka sesegera mungkin bisa keluar dari kemelut ini. Berlarut-larutnya konflik ini tidak akan membawa keuntungan bagi partai, namun hanya memuaskan hasrat politik sebagian orang saja dalam upayanya membangun dan mempertahankan kekuasaan. Capain partai golkar yang pasca reformasi hingga kini tetap dinobatkan sebagai partai terbesar diantara PDIP dan lainnya, seharusnya disadari sebagai sebuah kepercayaan masyarakat yang harus tetap dijaga dengan baik. Bukan justru berkonflik untuk berebut kekuasaan didalam, yang justru akan membawa dampak kerugian bagi partai sendiri.

Sumber :
http://www.kompasiana.com/aguslilik/babak-baru-kemelut-partai-golkar_552a10a2f17e612753d623d4