Senin, 08 Juni 2015

HEBOH BERAS PLASTIK (tinjauan dari perlindungan hak asasi rakyat)



Mengenai beredarnya beras plas­tik sebenarnya berawal dari media so­sial sejak bulan April lalu. Sulitnya mem­bedakan beras plastik karena beras ini tidak 100 persen terbuat dari plastik. Di­kabarkan bahwa beras plastik yang terbuat dari umbi-umbian, kentang dan dicetak dengan bahan plastik banyak beredar dan dijual di pasar-pasar Tiong­kok, khususnya provinsi Shaanxi. Na­mun informasi ini harus perlu di­ve­rifikasi lagi kebenarannya karena in­for­masi hanya didapat melalui media so­sial yang perlu dicek kevalidan in­formasi yang diunggah. Walaupun su­dah banyak yang memposting foto-foto beras mentah hingga masak bahkan vi­deo yang menayangkan cara pembua­tan beras plastik.
Minggu lalu dikabarkan pula ba­hwa peredaran beras plastik sudah masuk ke kawasan Asia Tenggara termasuk ke Indonesia. Inilah yang membuat ma­sya­rakat menjadi heboh dan resah. Res­pon ini pun sangat wajar dan dimaklumi karena masyarakat tidak ingin kalau beras plastik tersusup dan menjadi menu santapan harian keluar­ga.
Belum Ditemukan di Kota Lain
Dalam beberapa hari terakhir me­mang belum ada ditemukan kasus beras plastik di kota lain. Beras plastik yang sudah ditemukan di Bekasi sudah di­proses melalui pengujian labo­ratorium  Sucofindo untuk melihat komponen-komponen penyusun beras plastik. Fakta yang didapat adalah beras plastik mengandung bahan-bahan berbahaya yaitu zat pembuat dan pelembut bahan baku pembuatan plastik. Namun, hasil uji lab oleh Sucofindo juga masih menunggu hasil uji lab dari Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM).
Namun tidak cukup hanya me­nunggu hasil dari laboratorium yang dila­kukan oleh pemerintah. Masyarakat ber­harap lebih terhadap langkah dan ke­bijakan pemerintah untuk bisa me­ngantisipasi barang-barang illegal yang masuk ke Indonesia. Pemerintah harus memperketat dalam mengawasi ba­rang-barang impor yang masuk. Jangan sam­pai barang-barang ilegal merajalela melewati bea cukai apalagi para mafia-mafia pangan yang sering bermain melalui barang-barang illegal.
Pemerintah pun harus menjaga konsistensi penjagaan barang-barang yang masuk ke Indonesia. Karena bisa saja ketika pemerintah lengah dengan barang-barang yang legal semisal beras-beras impor legal bisa tersusupi beras plastik di dalamnya karena hanya menampilkan label saja.
Pentingnya pengawasan yang ketat me­lalui barang-barang yang masuk dari luar negeri menjadi agenda penting yang harus diperhatikan. Karena ke­la­laian akan mengakibatkan pasar tra­disional rugi dan masyarakat sebagai kon­sumen pun dirugikan. Masyarakat meng­harapkan pemerin­tah tidak se­kedar latah dengan setiap persoalan ke­tika muncul ke permukaan. Hari ini menerapkan peraturan dan pengawasan ke­tat ketika kasus merebak tapi besok-besok tak diperhatikan lagi. Pemerintah pun harus mengedepan­kan antisipasi dan pencegahan dengan intensitas yang konsisten. Pengawasan dan inspeksi langsung bahan makanan ke pasar-pasar me­rupakan langkah tepat agar setiap kon­sumen tidak terus-menerus merasa kua­tir.
Lemahnya pengawasan di lapangan ten­tunya harus diperbaiki dengan politik anggaran untuk pengawasan ma­ka­nan yang beredar di pasaran. Karena se­l­ama ini pengalokasian anggaran un­tuk pengawasan makanan yang beredar di masyarakat cukup lemah. Melalui ka­sus ini, pemerintah sebaik­nya bisa me­ngevaluasi kembali akibat dari le­mahnya pengalokasian anggaran un­tuk pengawa­san produk-produk maka­nan.
Pemerintah harusnya bersikap was­pada setiap saat jangan sampai ma­syarakat dirugikan akibat lalainya pemerintah dalam mengawasi masuk­nya produk-produk palsu khususnya per­edaran beras plastik ini. masyarakat pun harus mendapat jaminan dari peme­rintah bahwa produk makanan yang beredar di masyarakat aman untuk dikonsumsi.
Selain itu antara semua lini pemerin­tah haruslah saling berko­ordinasi. Men­teri perdagangan dan menteri pertanian harus berkoordinasi dengan bea cukai di pelabuhan-pelabuhan. Karena pe­labuhan menjadi lahan subur para mafia un­tuk melewatkan barang-barang se­lun­­­dupan.
Pemerintah Harus Tegas
Pemerintah harus bekerja keras me­nelusuri asal muasal beras palsu. Bahkan pemerintah harus bersikap tegas apabila pembuat dan pengedar beras palsu ini tertangkap. Karena pem­buat dan penge­dar bahan makanan ber­bahaya merupa­kan tindak kriminali­tas karena merusak organ manusia yang da­pat membunuh banyak orang secara perlahan.
Pada saat yang sama jangan kita biarkan pemerintah bekerja sendiri. Masyarakat pun harus ambil bagian. Mari gencarkan kewaspadaan kepada masyarakat yang belum mengentahui informasi tentang beras plastik yang telah beredar di pasar-pasar. Perlunya sosialisasi mengenai ciri-ciri bahan makanan berbahaya, termasuk beras plastik. Karena secara fisik relatif tidak terlalu jauh berbeda dari bau dan rasanya. Namun ada karakter spesifik yang perlu dikenal oleh masyarakat sebelum mengkonsumsi beras palsu.
Kandungan beras asli ketika setelah dimasak akan terasa lebih lengket karena mengandung karbohidrat lebih tinggi. Jika ingin mengidentifikasi beras plastik yang dicampur dengan beras asli maka daya lengketnya tidak baik alias tidak mudah lengket karena tidak memiliki kadar karbohidrat yang lebih banyak dibanding beras asli.
Kasus beredarnya beras plastik ini menjadi momentum bagi kita para konsumen agar lebih sadar lagi untuk lebih waspada terhadap produk-produk yang dibeli di pasar. Masyarakat harus lebih jeli dalam melihat informasi yang terdapat di makanan bahkan menco­cokkan kualitas yang ada di label produk makanan dengan isinya. Karena bisa saja ada ketidakcocokan antara label dan isinya. Jangan biarkan beras plastik ma­suk sampai ke perut, karena ketika su­dah di perut sulit untuk mengiden­ti­fikasinya.
            Menteri Perdagangan Rachmat Gobel memerintahkan seluruh Kepala Dinas Perdagangan memeriksa kemungkinan adanya peredaran beras sintetis mengandung plastik. "Kejadian ini merupakan momentum untuk menata ulang perdagangan bahan pokok dan barang lainnya, termasuk melakukan pendaftaran peredaran setiap merek beras," kata Gobel di kantornya, Jumat 22 Mei 2015.

Sebelumnya, pemerintah dinilai kecolongan atas beredarnya beras mengandung plastik. Pengujian yang dilakukan PT Sucofindo terhadap sampel beras dari Pasar Tanah Merah, Bekasi, Jawa Barat, menemukan ada tiga senyawa plastik. Sampel beras diambil dari konsumen bernama Dewi Septiani dan penjual beras Sembiring. Plastik itu diduga dioplos dengan beras.

Menteri Gobel meminta penyidik Badan Reserse Kriminal Polri dan Badan Intelijen Negara menelusuri dari hulu hingga hilir apakah peredaran beras sintetis itu diimpor secara ilegal atau merupakan produk dalam negeri. Penelusuran ini untuk memastikan motif pelaku. "Apakah sekadar pidana pencari untung semata, ataukah ada tindakan kriminalitas dengan motif-motif tertentu yang merugikan pemerintah," ujarnya.

Sampai saat ini belum ada laporan mengenai beras plastik kecuali temuan di Kota Bekasi. Meski begitu, Gobel tetap menghormati hasil uji laboratorium Pemerintah Kota Bekasi melalui Sucofindo. Ia juga mengapresiasi Dewi Septiani yang telah berpartisipasi dalam pengawasan publik agar peredaran beras sintetis tidak meluas. Namun pemerintah tetap menunggu hasil kajian Bareskrim serta Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) guna mendapatkan kepastian.

Direktur Jenderal Standardisasi dan Perlindungan Konsumen Kementerian Perdagangan, Widodo, berharap dalam tiga hari ini pengujian bisa dirampungkan BPOM. Jika hasil uji laboratorium positif, polisi akan menindak dengan menaikkan kasusnya ke tahap penyidikan. Kementerian Perdagangan akan menerbitkan surat ke seluruh Dinas Perdagangan agar menarik peredaran beras yang sejenis dengan yang ditemukan di Bekasi.

Pakar kimia dari Universitas Indonesia, Asmuwahyu, mempertanyakan motif pembuat beras plastik, karena bahan baku dan ongkos produksinya lebih mahal. "Harga plastik olahan seperti itu paling murah Rp 12 ribu per kilogram, sedangkan beras harganya Rp 7.500," ujarnya.

Pengamat ekonomi pertanian, Bustanul Arifin, menduga pelaku adalah orang iseng. Ia ragu kasus tersebut merupakan “bioterorisme”. Sebab, kata dia, penyebaran dan korban beras plastik tersebut belum jelas. Namun fenomena ini mencoreng citra bangsa dalam kaitan isu keamanan pangan.
Munculnya statemen dari Polri dan BPOM yang menyatakan beras plastik tidak ada menyisakan masalah hukum tersendiri bagi pelapornya, Dewi Nurriza Septiani.

Hal demikian lantaran Kapolri dan juga Menteri Pertanian, Andi Arman Sulaiman bertekad akan memprosespidanakan mereka yang menyebarkan isu beras plastik karena dianggap menebarkan keresahan bagi masyarakat.

Kita tau, dalam proses penegakan hukum, ada istilah partisipasi masyarakat dalam membantu upaya penegakan hukum itu sendiri. Ketaatan atau kepatuhan terhadap hukum yang berlaku merupakan konsep nyata dalam diri seseorang yang diwujudkan dalam perilaku yang sesuai dengan sistem hukum yang berlaku. Kepatuhan hukum mengandung arti bahwa seseorang memiliki kesadaran untuk memahami hukum, mempertahankan tertib hukum dan menegakkan kepastian hukum.

Apa yang dilakukan oleh Ibu Dewi dengan mengunggah temuannya di medsos justru merupakan implementasi dari partisipasi masyarakat yang betul-betul sadar hukum, AGAR masyarakat yang lain tau dan tidak menjadi korban dengan mengkonsumsi beras palsu, juga agar aparat lebih mudah menegakkan hukum mengungkap pelaku apapun motifnya.

Jika tindakan Ibu Dewi tersebut dianggap meresahkan masyarakat, MAKA lengkap sudah kedzaliman pemerintah ini terhadap rakyatnya sendiri, dimana:
1. Pemerintah yang telah gagal memberikan kesejahteraan bagi rakyatnya;
2. Pemerintah yang tidak mampu mengontrol harga-harga yang melangit dampak kenaikan bbm;
3. Pemerintah yang tidak mampu memberikan rasa aman dan nyaman bagi rakyat akibat kejahatan merajalela akibat kemiskinan meningkat;
4. Pemerintah yang tidak mampu menegakkan hukum secara berimbang;

Namun hari ini, ketika ada masyarakat yang berbaik hati membantu mengungkap kejahatan dengan memberikan informasi kepada masyarakat luas JUSTRU dituduh membuat keresahan masyarakat dan harus dipidana.

Jika tindakan Ibu Dewi dianggap teror yang meresahkan masyarakat, kenapa pula beliau juga membuat laporan ke BPOM dan pihak Kepolisian. Adakah di dunia ini bahkan di akhirat sekalipun, pelaku teror melaporkan tindakannya ke pihak berwenang?

Tidakkah kalian sadar, bahwa keberhasilan kalian dalam penegakan hukum dan membasmi kejahatan, sebagian besar awalnya juga dari laporan masyarakat?
Lantas mengapa ketika ada partisipasi masyarakat yang melapor justru dikriminalisasi dengan tuduhan meresahkan masyarakat?

Jika memang demikian arahnya, maka jangan berharap lagi partisipasi masyarakat dalam penegakan hukum di indonesia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar