Mengenai beredarnya beras plastik sebenarnya berawal dari media sosial sejak bulan April lalu. Sulitnya membedakan beras plastik karena beras ini tidak 100 persen terbuat dari plastik. Dikabarkan bahwa beras plastik yang terbuat dari umbi-umbian, kentang dan dicetak dengan bahan plastik banyak beredar dan dijual di pasar-pasar Tiongkok, khususnya provinsi Shaanxi. Namun informasi ini harus perlu diverifikasi lagi kebenarannya karena informasi hanya didapat melalui media sosial yang perlu dicek kevalidan informasi yang diunggah. Walaupun sudah banyak yang memposting foto-foto beras mentah hingga masak bahkan video yang menayangkan cara pembuatan beras plastik.
Minggu lalu dikabarkan pula bahwa peredaran beras plastik sudah masuk ke kawasan Asia Tenggara termasuk ke Indonesia. Inilah yang membuat masyarakat menjadi heboh dan resah. Respon ini pun sangat wajar dan dimaklumi karena masyarakat tidak ingin kalau beras plastik tersusup dan menjadi menu santapan harian keluarga.
Belum Ditemukan di Kota Lain
Dalam beberapa hari terakhir memang belum ada ditemukan kasus beras plastik di kota lain. Beras plastik yang sudah ditemukan di Bekasi sudah diproses melalui pengujian laboratorium Sucofindo untuk melihat komponen-komponen penyusun beras plastik. Fakta yang didapat adalah beras plastik mengandung bahan-bahan berbahaya yaitu zat pembuat dan pelembut bahan baku pembuatan plastik. Namun, hasil uji lab oleh Sucofindo juga masih menunggu hasil uji lab dari Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM).
Namun tidak cukup hanya menunggu hasil dari laboratorium yang dilakukan oleh pemerintah. Masyarakat berharap lebih terhadap langkah dan kebijakan pemerintah untuk bisa mengantisipasi barang-barang illegal yang masuk ke Indonesia. Pemerintah harus memperketat dalam mengawasi barang-barang impor yang masuk. Jangan sampai barang-barang ilegal merajalela melewati bea cukai apalagi para mafia-mafia pangan yang sering bermain melalui barang-barang illegal.
Pemerintah pun harus menjaga konsistensi penjagaan barang-barang yang masuk ke Indonesia. Karena bisa saja ketika pemerintah lengah dengan barang-barang yang legal semisal beras-beras impor legal bisa tersusupi beras plastik di dalamnya karena hanya menampilkan label saja.
Pentingnya pengawasan yang ketat melalui barang-barang yang masuk dari luar negeri menjadi agenda penting yang harus diperhatikan. Karena kelalaian akan mengakibatkan pasar tradisional rugi dan masyarakat sebagai konsumen pun dirugikan. Masyarakat mengharapkan pemerintah tidak sekedar latah dengan setiap persoalan ketika muncul ke permukaan. Hari ini menerapkan peraturan dan pengawasan ketat ketika kasus merebak tapi besok-besok tak diperhatikan lagi. Pemerintah pun harus mengedepankan antisipasi dan pencegahan dengan intensitas yang konsisten. Pengawasan dan inspeksi langsung bahan makanan ke pasar-pasar merupakan langkah tepat agar setiap konsumen tidak terus-menerus merasa kuatir.
Lemahnya pengawasan di lapangan tentunya harus diperbaiki dengan politik anggaran untuk pengawasan makanan yang beredar di pasaran. Karena selama ini pengalokasian anggaran untuk pengawasan makanan yang beredar di masyarakat cukup lemah. Melalui kasus ini, pemerintah sebaiknya bisa mengevaluasi kembali akibat dari lemahnya pengalokasian anggaran untuk pengawasan produk-produk makanan.
Pemerintah harusnya bersikap waspada setiap saat jangan sampai masyarakat dirugikan akibat lalainya pemerintah dalam mengawasi masuknya produk-produk palsu khususnya peredaran beras plastik ini. masyarakat pun harus mendapat jaminan dari pemerintah bahwa produk makanan yang beredar di masyarakat aman untuk dikonsumsi.
Selain itu antara semua lini pemerintah haruslah saling berkoordinasi. Menteri perdagangan dan menteri pertanian harus berkoordinasi dengan bea cukai di pelabuhan-pelabuhan. Karena pelabuhan menjadi lahan subur para mafia untuk melewatkan barang-barang selundupan.
Pemerintah Harus Tegas
Pemerintah harus bekerja keras menelusuri asal muasal beras palsu. Bahkan pemerintah harus bersikap tegas apabila pembuat dan pengedar beras palsu ini tertangkap. Karena pembuat dan pengedar bahan makanan berbahaya merupakan tindak kriminalitas karena merusak organ manusia yang dapat membunuh banyak orang secara perlahan.
Pada saat yang sama jangan kita biarkan pemerintah bekerja sendiri. Masyarakat pun harus ambil bagian. Mari gencarkan kewaspadaan kepada masyarakat yang belum mengentahui informasi tentang beras plastik yang telah beredar di pasar-pasar. Perlunya sosialisasi mengenai ciri-ciri bahan makanan berbahaya, termasuk beras plastik. Karena secara fisik relatif tidak terlalu jauh berbeda dari bau dan rasanya. Namun ada karakter spesifik yang perlu dikenal oleh masyarakat sebelum mengkonsumsi beras palsu.
Kandungan beras asli ketika setelah dimasak akan terasa lebih lengket karena mengandung karbohidrat lebih tinggi. Jika ingin mengidentifikasi beras plastik yang dicampur dengan beras asli maka daya lengketnya tidak baik alias tidak mudah lengket karena tidak memiliki kadar karbohidrat yang lebih banyak dibanding beras asli.
Kasus beredarnya beras plastik ini menjadi momentum bagi kita para konsumen agar lebih sadar lagi untuk lebih waspada terhadap produk-produk yang dibeli di pasar. Masyarakat harus lebih jeli dalam melihat informasi yang terdapat di makanan bahkan mencocokkan kualitas yang ada di label produk makanan dengan isinya. Karena bisa saja ada ketidakcocokan antara label dan isinya. Jangan biarkan beras plastik masuk sampai ke perut, karena ketika sudah di perut sulit untuk mengidentifikasinya.
Menteri Perdagangan Rachmat Gobel memerintahkan seluruh Kepala Dinas Perdagangan memeriksa kemungkinan adanya peredaran beras sintetis mengandung plastik. "Kejadian ini merupakan momentum untuk menata ulang perdagangan bahan pokok dan barang lainnya, termasuk melakukan pendaftaran peredaran setiap merek beras," kata Gobel di kantornya, Jumat 22 Mei 2015.
Sebelumnya, pemerintah dinilai kecolongan atas beredarnya beras mengandung plastik. Pengujian yang dilakukan PT Sucofindo terhadap sampel beras dari Pasar Tanah Merah, Bekasi, Jawa Barat, menemukan ada tiga senyawa plastik. Sampel beras diambil dari konsumen bernama Dewi Septiani dan penjual beras Sembiring. Plastik itu diduga dioplos dengan beras.
Menteri Gobel meminta penyidik Badan Reserse Kriminal Polri dan Badan Intelijen Negara menelusuri dari hulu hingga hilir apakah peredaran beras sintetis itu diimpor secara ilegal atau merupakan produk dalam negeri. Penelusuran ini untuk memastikan motif pelaku. "Apakah sekadar pidana pencari untung semata, ataukah ada tindakan kriminalitas dengan motif-motif tertentu yang merugikan pemerintah," ujarnya.
Sampai saat ini belum ada laporan mengenai beras plastik kecuali temuan di Kota Bekasi. Meski begitu, Gobel tetap menghormati hasil uji laboratorium Pemerintah Kota Bekasi melalui Sucofindo. Ia juga mengapresiasi Dewi Septiani yang telah berpartisipasi dalam pengawasan publik agar peredaran beras sintetis tidak meluas. Namun pemerintah tetap menunggu hasil kajian Bareskrim serta Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) guna mendapatkan kepastian.
Direktur Jenderal Standardisasi dan Perlindungan Konsumen Kementerian Perdagangan, Widodo, berharap dalam tiga hari ini pengujian bisa dirampungkan BPOM. Jika hasil uji laboratorium positif, polisi akan menindak dengan menaikkan kasusnya ke tahap penyidikan. Kementerian Perdagangan akan menerbitkan surat ke seluruh Dinas Perdagangan agar menarik peredaran beras yang sejenis dengan yang ditemukan di Bekasi.
Pakar kimia dari Universitas Indonesia, Asmuwahyu, mempertanyakan motif pembuat beras plastik, karena bahan baku dan ongkos produksinya lebih mahal. "Harga plastik olahan seperti itu paling murah Rp 12 ribu per kilogram, sedangkan beras harganya Rp 7.500," ujarnya.
Pengamat ekonomi pertanian, Bustanul Arifin, menduga pelaku adalah orang iseng. Ia ragu kasus tersebut merupakan “bioterorisme”. Sebab, kata dia, penyebaran dan korban beras plastik tersebut belum jelas. Namun fenomena ini mencoreng citra bangsa dalam kaitan isu keamanan pangan.
Munculnya
statemen dari Polri dan BPOM yang menyatakan beras plastik tidak ada menyisakan
masalah hukum tersendiri bagi pelapornya, Dewi Nurriza Septiani.
Hal demikian
lantaran Kapolri dan juga Menteri Pertanian, Andi Arman Sulaiman bertekad akan memprosespidanakan
mereka yang menyebarkan isu beras plastik karena dianggap menebarkan keresahan
bagi masyarakat.
Kita tau,
dalam proses penegakan hukum, ada istilah partisipasi masyarakat dalam membantu
upaya penegakan hukum itu sendiri. Ketaatan atau kepatuhan terhadap hukum yang
berlaku merupakan konsep nyata dalam diri seseorang yang diwujudkan dalam
perilaku yang sesuai dengan sistem hukum yang berlaku. Kepatuhan hukum
mengandung arti bahwa seseorang memiliki kesadaran untuk memahami hukum, mempertahankan
tertib hukum dan menegakkan kepastian hukum.
Apa yang
dilakukan oleh Ibu Dewi dengan mengunggah temuannya di medsos justru merupakan
implementasi dari partisipasi masyarakat yang betul-betul sadar hukum, AGAR
masyarakat yang lain tau dan tidak menjadi korban dengan mengkonsumsi beras
palsu, juga agar aparat lebih mudah menegakkan hukum mengungkap pelaku apapun
motifnya.
Jika
tindakan Ibu Dewi tersebut dianggap meresahkan masyarakat, MAKA lengkap sudah
kedzaliman pemerintah ini terhadap rakyatnya sendiri, dimana:
1.
Pemerintah yang telah gagal memberikan kesejahteraan bagi rakyatnya;
2.
Pemerintah yang tidak mampu mengontrol harga-harga yang melangit dampak
kenaikan bbm;
3.
Pemerintah yang tidak mampu memberikan rasa aman dan nyaman bagi rakyat akibat
kejahatan merajalela akibat kemiskinan meningkat;
4.
Pemerintah yang tidak mampu menegakkan hukum secara berimbang;
Namun hari
ini, ketika ada masyarakat yang berbaik hati membantu mengungkap kejahatan
dengan memberikan informasi kepada masyarakat luas JUSTRU dituduh membuat
keresahan masyarakat dan harus dipidana.
Jika
tindakan Ibu Dewi dianggap teror yang meresahkan masyarakat, kenapa pula beliau
juga membuat laporan ke BPOM dan pihak Kepolisian. Adakah di dunia ini bahkan
di akhirat sekalipun, pelaku teror melaporkan tindakannya ke pihak berwenang?
Tidakkah
kalian sadar, bahwa keberhasilan kalian dalam penegakan hukum dan membasmi
kejahatan, sebagian besar awalnya juga dari laporan masyarakat?
Lantas
mengapa ketika ada partisipasi masyarakat yang melapor justru dikriminalisasi
dengan tuduhan meresahkan masyarakat?
Jika memang
demikian arahnya, maka jangan berharap lagi partisipasi masyarakat dalam
penegakan hukum di indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar