Senin, 08 Juni 2015

SANKSI FIFA TERHADAP ( tinjauan dari sisi hak pemain dan penonton sepak bola )



Menteri Pemuda dan Olahraga (Menpora), Imam Nahrawi, dengan percaya diri menandatangani surat keputusan pembekuan Persatuan Sepakbola Seluruh Indonesia (PSSI). Pembekuan ini dibalas dengan penghentian kompetisi Qatar National Bank League 2015 oleh PSSI. Pro dan kontra pun lantas menyeruak ke permukaan atas kejadian-kejadian ini.
Atas intervensi pemerintah ini, Indonesia berada dalam bayang-bayang hukuman dari Federation Internationale de Football Association (FIFA), federasi sepakbola tertinggi di dunia. Inilah yang memunculkan ketidaksetujuan sebagian publik atas pembekuan PSSI yang dilakukan oleh Menpora.
Lantas apa yang akan terjadi jika FIFA menghukum Indonesia dalam waktu dekat? Yang pasti Indonesia dipastikan tak bisa mengikuti turnamen-turnamen internasional. Sedangkan timnas Indonesia sendiri, akan berlaga pada babak kualifikasi Piala Dunia 2018 sekaligus babak kualifikasi Piala Asia 2019 pada Juni mendatang.
Tak hanya kesebelasan nasional, klub pun akan terkena dampaknya. Klub yang dihukum FIFA tak diperkenankan untuk mengikuti kompetisi internasional. Ini artinya, Persib Bandung dan Persipura Jayapura terancam tak bisa meneruskan kiprahnya di AFC Cup.
Merugikan? Ya. Tapi sabar dulu. Ada contoh menarik dari kasus hukuman FIFA pada sebuah negara dan hal tersebut terjadi dua tahun yang lalu pada negara asal Afrika, Kamerun, yang beberapa waktu lalu beruji coba dengan timnas kita. Apa yang dialami Kamerun ini bisa menjadi pelajaran bagi Indonesia jika dihukum FIFA.
Pada 4 Juli 2013, FIFA menjatuhkan hukuman pada Federation of Cameroon Football (Fecafoot) terkait dipilihnya kembali Iya Muhammad sebagai ketua Fecafoot. Padahal, Iya Muhammad tengah mendekam di penjara karena kasus penyelewengan dana pada perusahaan pengembangan kapas yang dimiliki negara.
Karena mendapatkan protes keras, keputusan tersebut dicabut dan Fecafoot menunjuk wakil ketua terpilih, John Begheni Ndeh untuk memimpin federasi untuk sementara waktu. Pemerintah tak menyetujui pemilihan tersebut dan membekukan Fecafoot serta mengangkat ketua baru versi pemerintah.
Fecafoot pun segera melaporkan apa yang dilakukan pemerintah Kamerun tersebut pada FIFA. Bukannya mendapat bantuan, FIFA justru menjatuhkan hukuman pada Kamerun dengan alasan  intervensi pemerintah.
FECAFOOT yang tak menyangka atas keputusan itu langsung mengkritisi putusan FIFA tersebut karena Kamerun akan menjalani babak kualifikasi Piala Dunia 2014. Belum lagi tentang nasib-nasib pemain Kamerun, khususnya pemain muda, yang berlaga di Eropa bisa terancam. Pun begitu dengan kiprah klub-klub Kamerun.
“Jika misalnya ada pemain muda yang diterima, misalnya di Arsenal, ia tak akan bisa pindah karena federasi Kamerun tak memiliki sertifikat transfer yang diakui,” ujar Junior Binyam, juru bicara FECAFOOT dikutip dari vanguardngr.com.
FIFA menyarankan Kamerun menyelesaikan kisruh yang ada serta membentuk tim normalisasi sebagai penengah. Pemerintah Kamerun dan Fecafoot pun kemudian bersama-sama membentuk tim normalisasi yang diketuai oleh mantan Menteri Olahraga, Joseph Owana, dengan wakilnya, Ngassa Happi, dari presiden komite kesebelasan Kamerun, Union Douala. Anggotanya yang berjumlah sembilan orang, berisikan beberapa mantan pemain dan sejumlah pengacara yang juga berkecimpung dalam dunia sepakbola Kamerun.
Setelah mempelajari orang-orang yang berada di tim normalisasi, FIFA kemudian menyetujui tim normaliasi ini. Dan tak lama setelahnya, hukuman pada Kamerun pun kemudian dicabut pada tanggal 22 Juli 2013. Ini artinya, Kamerun hanya dihukum FIFA selama 17 hari.
Dalam pernyataan resminya, FIFA menyatakan bahwa, “Sebagaimana yang diminta FIFA Emergency Comitee, tim normalisasi yang dibentuk pada 20 Juli 2013, diperbolehkan untuk mengambil alih federasi sepakbola Kamerun yang didampingi pihak dari FIFA dan perwakilan dari Konfederasi Sepakbola Afrika (CAF) per Senin, 22 Juli 2013. Dengan pencabutan hukuman ini, klub, ofisial, dan semua hal yang berhubungan dengan Fecafoot diperbolehkan kembali melanjutkan kegiatan yang sempat terganggu.”
Atas dicabutnya hukuman FIFA ini, Coton Sport diperbolehkan berlaga di Liga Champions Afrika yang mulai digelar pada 4 Agustus 2013, dua minggu setelah hukuman dicabut. Sedangkan timnas Kamerun, diperbolehkan menjalani babak kualifikasi Piala Dunia 2014 pada September, dua bulan setelah hukuman dicabut, dengan menghadapi Libya.
Tim normalisasi tersebut menangani sementara organisasi sepakbola Kamerun hingga pemilihan ketua baru Fecafoot pada Maret tahun berikutnya. Dicabutnya hukuman FIFA atas Kamerun pun dibarengi dengan pertemuan antara Presiden FIFA, Sepp Blatter, dengan Menteri Olahraga Kamerun, Adoum Garoua untuk menjalin hubungan baik pemerintah Kamerun dengan FIFA.
Setelah hukuman dari FIFA-nya dicabut, tim normalisasi yang dibentuk pemerintah Kamerun dibantu wakil FIFA, Primo Carvaro, dan perwakilan CAF, Prosper Abega, merevisi Statuta Fecafoot. Dengan bantuan dari FIFA dan CAF ini, tim normalisasi pun berjalan dengan sebagaimana mestinya.
Dari kasus Kamerun ini kita bisa melihat bahwa sebenarnya hukuman FIFA yang kita takutkan selama ini tak semengerikan yang kita kira. Ketika FIFA mengetukkan palu hukuman, FIFA bisa kapan saja mencabut kembali hukuman yang dijatuhkannya, selama tentu saja negara yang bersangkutan bergerak cepat mengikuti segala yang diinstruksikan FIFA berikutnya.
Dalam sejarah sepakbola, Brunei Darussalam merupakan negara yang paling lama menjalani hukuman FIFA: 16 bulan. Hal itu terjadi karena pemerintah Brunei memang tak berupaya untuk melego FIFA dan lebih memilih jalannya sendiri: membentuk federasi baru. Barulah setelah dua tahun berjalan, FIFA mengakui federasi baru Brunei (FFBD) sebagai anggota FIFA dan mencabut hukumannya.
Hingga saat ini, menjelang tiga minggu setelah PSSI dibekukan, belum ada tanda-tanda Indonesia akan dihukum FIFA. Tapi jikapun–kemungkinan terburuknya–FIFA menghukum Indonesia, tinggal bagaimana nantinya tim normalisasi yang diminta FIFA bisa disetujui. Jika dilakukan sesuai apa yang diminta FIFA, hukuman bisa dengan cepat dicabut kembali, seperti misalnya yang dialami Nigeria yang dihukum FIFA hanya selama sembilan hari.
Menpora membekukan PSSI karena PSSI dianggap tak menuruti aturan pemerintah terkait transparasi keuangan dan regulasi kompetisi Indonesia Super League atau sekarang bernama Qatar National Bank League. Alasan seperti ini harusnya bisa dibenarkan oleh FIFA jika mengacu Statuta FIFA itu sendiri.
Dalam Statuta FIFA edisi terbaru, April 2015, disebutkan pada Pasal 2 ayat ‘e’ bahwa tujuan dibentuknya FIFA salah satunya adalah untuk meningkatkan integritas kompetisi dan mencegah adanya penyalahgunaan asosiasi sepakbola. Hal tersebut tentunya sejalan dengan maksud dari Menpora membekukan PSSI.
Dengan asumsi FIFA berpegang teguh pada statutnya sendiri, harusnya Menpora bisa dengan mudahnya melobi FIFA setelah hukuman dijatuhkan. Menpora tinggal menunjukkan bukti-bukti lainnya seperti hal-hal lain yang tak diinginkan FIFA dalam sepakbola dalam pasal 2 tersebut.
Mengenai sepakbola Indonesia, FIFA telah mengambil sikap. Badan tertinggi sepakbola dunia tersebut telah menjatuhkan hukuman terhadap PSSI. Hukuman ini berlaku segera dan akan berlangsung hingga waktu yang belum ditentukan.
Selama masa hukuman, Indonesia kehilangan banyak hak sepakbolanya, termasuk ikut serta dalam kejuaraan. Ada pengecualian, memang, yang membuat Tim Nasional Indonesia tetap dapat ambil bagian di SEA Games. Namun bukan itu poin utamanya. Lama atau tidaknya hukuman FIFA tergantung PSSI sendiri.
Sebagaimana hukuman yang berlaku segera, pencabutan hukuman pun dapat dilakukan dengan segera. Selama, tentu saja, PSSI mampu memenuhi empat ketentuan pencabutan hukuman yang ditentukan FIFA. Ketentuan pertama dari empat ketentuan tersebut adalah: Komite Eksekutif PSSI terpilih dapat mengelola perkara PSSI secara mandiri dan tanpa pengaruh dari pihak ketiga, termasuk kementerian (atau badan kementerian).
Ketentuan kedua berisi pengembalian kewenangan terhadap tim nasional Indonesia kepada PSSI: Tanggung jawab mengenai tim nasional Indonesa kembali menjadi kewenangan PSSI. Seperti ketentuan kedua, ketentuan ketiga dan keempat juga berisi pengembalian kewenangan kepada PSSI (“tanggung jawab mengenai semua kejuaraan PSSI kembali menjadi kewenangan PSSI atau liga yang dibawahinya” dan “semua kesebelasan yang berlisensi PSSI di bawah regulasi lisensi kesebelasan PSSI dapat berkompetisi di kejuaraan PSSI”).
Selama masa hukuman, PSSI kehilangan hak-hak keanggotaan mereka di FIFA. Selain itu, semua kesebelasan Indonesia (tim nasional atau klub) tidak dapat terlibat dalam kontak olah raga internasional. Hak-hak yang hilang dan larangan yang berlaku termasuk hak untuk ikut serta dalam kejuaraan FIFA dan AFC (Asian Football Confederation, Federasi Sepakbola Asia).

Hukuman yang dijatuhkan FIFA tidak hanya membatasi hak-hak kesebelasan. Anggota dan pengurus PSSI juga tidak dapat terlibat, termasuk sebagai peserta, dalam setiap program pengembangan bakat, kursus, atau pelatihan yang diselenggarakan FIFA maupun AFC.
Secara khusus, dalam surat keputusannya, FIFA menyoroti keikutsertaan tim nasional Indonesia di South East Asean Games 2015 (SEA Games 2015) di Singapura. Mengingat hal ini termasuk kontak olahraga internasional, tim nasional Indonesia seharusnya tidak dapat ikut serta di cabang olahraga sepakbola SEA Games 2015. Namun FIFA memberi pengecualian. Tim nasional Indonesia dapat ikut serta di SEA Games 2015.
“Secara khusus dan tidak berhubungan dengan hukuman, Komite Eksekutif FIFA telah memutuskan bahwa tim nasional Indonesia dapat meneruskan keikutsertaan mereka di SEA Games hingga keikutsertaan mereka berakhir,” bunyi pernyataan FIFA di surat resmi yang mereka keluarkan mengenai penjatuhan hukuman terhadap PSSI.
Sebagai catatan, pertandingan-pertandingan di cabang olahraga sepakbola SEA Games tidak termasuk dalam agenda FIFA sehingga hasil pertandingan-pertandingannya tidak akan memengaruhi peringkat Indonesia di ranking FIFA dan, karenanya, tidak menjadi kewenangan FIFA juga melarang Indonesia ikut serta di SEA Games.
Begitu juga kompetisi sepakbola nasional yang masih dapat bergulir tanpa pengaruh sanksi tersebut. Sementara itu secara terpisah presiden Joko Widodo mengatakan mendukung langkah Menpora soal keputusannya terhadap PSSI.
“Melihat permasalahannya harus lebih lebar. Kita ini hanya ingin ikut di ajang internasional atau berprestasi di ajang internasional?” sebut Jokowi dikutip dari CNN Indonesia.
“Jika hanya ingin ikut ajang internasional namun selalu kalah, lalu kebanggaan kita ada dimana, itu yang saya ingin tanyakan,” tambahnya.
“Kita selalu ikut ajang internasional namun selalu kalah. Yang kita lakukan adalah pembenahan total, pembenahan total daripada kita punya prestasi seperti ini terus sepanjang masa.”
Sumber :

Tidak ada komentar:

Posting Komentar